KERIS, Warisan Budaya Asli Indonesia

KERIS, WARISAN BUDAYA ASLI INDONESIA Oleh Jimmy S Harianto Belum genap tiga tahun berselang, tepatnya 25 November 2005, Lembaga Perserikatan Bangsa-bangsa yang membidangi pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan dunia (UNESCO) di Paris memproklamasikan bahwa tradisi dan budaya keris adalah merupakan warisan budaya lisan dan tak benda (oral and intangible heritage) asli Indonesia. Proklamasi UNESCO ini menyambung pengakuan sebuah tradisi dan warisan budaya milik Indonesia yang lainnya, yakni wayang, sebagai warisan budaya asli Indonesia. Tepatnya dua tahun sebelum itu, tahun 2003, UNESCO telah lebih dahulu mengakui wayang sebagai warisan lisan dan tak benda dari Indonesia. Dua pengakuan formal lembaga terpandang di dunia ini, tentunya melegakan kita, sebagai bangsa yang memiliki berbagai kekayaan warisan budaya, namun banyak di antaranya malah bukannya kita akui sebagai warisan budaya kita sendiri. Akan tetapi justru “diakui” sebagai warisan budaya negeri lain, di kawasan Asia (Tenggara) ini. Batik, misalnya, bisakah kita mengklaim sebagai warisan budaya Indonesia seperti halnya keris dan wayang? Belum lama ini, malah terjadi peristiwa yang cukup menyentak kita. Utamanya, ketika sejumlah anggota masyarakat Indonesia gempar saat Malaysia “mengklaim” tradisi reog – yang selama ini kita mengenal, merupakan sebuah bentuk ekspresi budaya khas asli Ponorogo – sebagai “tradisi tari barongan” yang diakui sebagai tradisi budaya asli Melayu. Karena biasa dimainkan sejumlah anggota masyarakat Malaysia di sana, sebagai tradisi tari barongan… “Insiden” tari barongan ini kemudian berlanjut, dan berkembang sedemikian rupa sehingga menghangatkan ketegangan hubungan antara dua bangsa bertetangga, Malaysia dan Indonesia. Kembali ke soal keris (dan juga tentunya wayang), yang sudah diakui oleh dunia sebagai “warisan budaya asli Indonesia”. Pengakuan ini tentunya baru berkekuatan sebagai sebuah konvensi dari sebuah lembaga perserikatan bangsa-bangsa yang membidangi pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan dunia. Sayangnya, negeri yang bersangkutan – Indonesia – belumlah meratifikasi konvensi itu dalam lembaga formal kenegaraannya, sampai kini.
Perjuangan panjang
Apakah pengakuan keris itu datang begitu saja? Tentunya juga tidak. Lantaran, baik keris maupun wayang, diakui oleh lembaga dunia sebagai warisan asli Indonesia, melalui sejumlah perjuangan yang cukup panjang. Setidaknya beberapa tahun sebelumnya, segelintir orang telah menyusun sejumlah proposal pengakuan kepada UNESCO, agar keris dan wayang diakui sebagai warisan dan budaya asli Indonesia. Sebelum tentunya, diklaim oleh bangsa tetangga kita sebagai warisan budaya mereka. Dalam tiga kali proklamasinya sejak 2001, UNESCO telah mengakui total 90 mahakarya warisan budaya lisan dan tak benda (oral and intangible heritage of humanity) dari berbagai tradisi budaya dunia, termasuk keris dan wayang. Sementara 43 mahakarya yang diakui lembaga tersebut pada tahun 2005, termasuk keris, diproklamasikan setelah melalui penjurian (ada 18 anggota dewan juri yang diketuai Putri Basma binti Talal dari Jordania). Jumlah 43 mahakarya itupun merupakan hasil saringan dari semula 64 usulan berbagai dunia, menyangkut berbagai tradisi. Keris, seperti halnya teater tradisi Jepang terkenal, Kabuki dan juga tradisi pertunjukan Ramlila di India (yang mengetengahkan cerita-cerita dari epik Ramayana), atau musik-tari terkenal dari Brasil, Samba, sebagai warisan budaya asli Indonesia. Pengakuan UNESCO ini berkaitan dengan kenyataan memudarnya kesadaran publik akan warisan budayanya sendiri, sehingga hilang dan punah ditelan masa, ditelan zaman. Lebih tragis lagi, jika ternyata ada kenyataan tradisi tersebut malah diakui oleh negeri tetangganya sebagai warisan budaya mereka. Dan negeri pemilik warisan budaya itu, baru meributkannya setelah muncul klaim negeri lain atas tradisi tersebut. Seperti yang terjadi pada “insiden” reog Ponorogo dan tradisi tari barongan Malaysia. Sekali lagi, pengakuan UNESCO itu tentunya tak akan terjadi jika tidak melalui pengusulan yang dilakukan bangsa itu sendiri. Dalam hal keris, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata telah menugaskan seorang “pakar keris”, Ir Haryono Haryoguritno untuk mempersiapkan proposal, dan kemudian mengajukannya pada UNESCO. Dan laporan tebal, yang disertai dokumentasi film budaya perkerisan berdurasi 10 menit serta 120 menit itu, ternyata membuahkan hasil. Haryono Guritno (penulis buku tebal tentang keris, “Keris Jawa, Antara Mistik dan Nalar” tahun 2006) juga tidak hanya bekerja di balik meja untuk menggolkan usulannya. Akan tetapi juga melalui perjuangan di lapangan yang cukup melelahkan. Ketua Umum Damartaji (Persaudaraan Penggemar Tosan Aji) ini sebelumnya telah membentuk sebuah tim riset yang dipercaya memiliki kepakarannya masing-masing, di antaranya terdiri dari Waluyo Wijayatno, Gaura Mancacaritadipura -- ia seorang warga negara Indonesia asal Australia (dikenal pula sebagai “dalang bule”), dan Stanley Hendrawidjaja -- seorang insinyur teknik lulusan Jerman namun memiliki minat dan perhatian khusus pada pepohonan yang kayunya dipakai sebagai berbagai warangka keris dan tombak. Tim riset Haryono pun mendatangi berbagai komunitas perkerisan di Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Bali dan Lombok. Selain melakukan berbagai dokumentasi foto dan video menyangkut budaya dan pembikinan keris, mereka juga mewawancarai sejumlah praktisi keris, pakar keris, lalu menuangkannya dalam sebuah proposal tebal beserta dokumentasi filmnya untuk diusulkan ke UNESCO. Apakah pengakuan keris itu akan berhenti melulu sebagai sebuah pengakuan? Tentunya diharapkan tidak demikian. Hal ini perlu ditekankan untuk membangkitkan kesadaran, agar Indonesia tidak kecolongan lagi. Mengingat, Malaysia kini juga gencar memakai tradisi keris yang berasal dari daerah-daerah lain di Indonesia, seperti tradisi keris Melayu (keris Minang, keris Riau, keris Palembang), serta keris-keris Bugis dalam tradisi budaya mereka. Sejumlah gaya dan tradisi keris dari wilayah itu, saat ini sudah menjadi tradisi di berbagai negara bagian Malaysia. Ini tentunya tidak mengherankan. Lantaran banyak di antara mereka, yang memang berdarah asal Sumatera, ataupun Bugis. Suatu ketika, jangan terkaget-kaget jika tradisi-tradisi keris dari daerah tersebut menjadi bagian tradisi yang “diklaim asli” negeri bagian Malaysia. Atau, suatu ketika kita terkaget-kaget melihat keris – yang diakui dunia sebagai warisan budaya asli Indonesia ini – justru dipakai sebagai ikon dan identitas negeri lain. Dan malah dicampakkan di negeri sendiri sebagai lambang-lambang konyol keajaiban semu perdukunan. Lihatlah kenyataan, bahwa keris merupakan identitas dan ikon maskapai penerbangan negeri tetangga kita, Singapore Airlines (SIA). Jika Anda menumpang pesawat dari maskapai penerbangan – yang memiliki reputasi terbaik di bidangnya ini – jangan terkaget-kaget. Ikon mereka keris (kris, dalam bahasa Inggris). Ruang Tunggu VIP mereka? Mereka sebut sebagai Kris Lounge. Layangan khusus mereka bagi pengguna setia Singapore Airlines? Mereka sebut sebagai KrisFlyer. Majalah resmi maskapai mereka? Mereka sebut sebagai Kris Magazine. Tempat shopping bagi para penumpang, untuk membeli berbagai suvenir penerbangan? Mereka sebut sebagai Kris Shop. Pokoknya, kris, kris, dan kris adalah ikon Singapura. Keris, oh, keris… Yogyakarta, Agustus 2008
* Jimmy S Harianto, atau Ganjawulung adalah wartawan dan redaktur harian Kompas (Artikel ini ditulis atas permintaan Sdr Daryadi, untuk dimuat di Majalah "Pencak Silat")

Komentar

Postingan Populer