MITOS Keris dan "Keris"Dayanti

P U S A T I N F O R M A S I K O M P A S Palmerah Selatan 26 - 28 Jakarta 10270 Telp. 5347710, 5347720, 5347730, 5302200 Fax. 5347743 =========================================== KOMPAS, Minggu, 19-06-2005. Halaman: 13 MITOS KERIS DAN 'KERIS' DAYANTI Oleh Jimmy S Harianto KRIS Dayanti, penyanyi kondang kelahiran Batu, Malang itu, punya kisah tersendiri soal keris. Bukan menyangkut soal mistik di balik benda budaya yang sering kali dikeramatkan kalangan masyarakat Jawa ini, tetapi soal kaitan namanya dengan keris. Kenapa nama saya Kris Dayanti? "Saya cerita soal bapak saya ya, kenapa dia memberi nama saya Kris Dayanti. Keris, menurut bapak saya, mempunyai dua kekuatan, luar dan dalam. Kekuatan dalam berupa aura, kekuatan luar, ya pusakanya itu sendiri," tutur Kris Dayanti. "Kata bapak saya, nama Kris Dayanti itu artinya dua kekuatan. Maka, kakak saya (penyanyi Yuni Shara) pun bilang, lu lebih kuat (lebih terkenal?) dari gue karena lu punya dua kekuatan itu," kata Kris Dayanti. "Apa kekuatan saya? Aku enggak tahu. Hanya saja, mama saya selalu bilang: saya ini enggak punya udel (pusar, Jawa). Enggak punya capek. Padahal, modal saya itu hanya semangat doang. Sementara, papa saya ya hanya seniman, pemahat, pelukis. Bukan penggemar keris." "Saya sih tidak menyimpan keris. Tetapi, suami saya (Anang), dia menyimpan keris dari guru spiritualnya yang menikahkan kami. Anang dulu nyantri pada dia sejak usia 12 tahun. Percaya enggak percaya, kalau suami saya sedang gelisah, ia suka pegang keris. Saya sih kurang paham soal religi-religi (yang dilakukan) dia itu. Saya hanya punya cerita khusus tentang keris dari nama saya itu," kata Kris Dayanti, Selasa (14/6) malam. Di kalangan masyarakat modern di Jakarta, utamanya di kalangan artis, ternyata tidak hanya Kris Dayanti saja yang "berbau" keris. Masih ada juga di antara mereka yang memiliki atau mengoleksi keris, entah untuk maksud apa. "Anjasmara, (artis) teman saya, dia pernah bilang mau ke Solo memandikan keris. Saya enggak melakukan ritual seperti itu. Arifin Panigoro (pebisnis, kenalan Kris Dayanti) setahu saya juga mengumpulkan keris. Saya? Wah, keris itu larang, (mahal, Jawa). Kalau enggak sugih (kaya), ya enggak mampu beli keris," kata Kris Dayanti, wanita ayu yang penyanyi dan inisialnya pun begitu terkenal seperti produk kosmetik, KD. Ia mengaku tak memanfaatkan keris, mengeramatkan keris, meskipun namanya terkait-kait dengan keris. Atau mengklaim dirinya sebagai 'The Singing Javanese Kris'. Leo Kristi, pemusik rakyat asal Surabaya dan sampai saat ini masih tetap tinggal di Surabaya setelah belasan tahun bermusik, juga mengakui bahwa namanya ada bau-bau keris juga. "Dulu, ayah saya punya keris satu. Menurut bapak, kakak saya yang akan mendapatkannya. Saya lalu bertanya, lha aku dapat yang mana? Ibu saya lalu menjawab: Kan kamu sudah punya keris?" tutur Leo, meniru ucapan sang ibu. "Aku balik bertanya kepadanya. Keris yang mana? Ibu bilang, lha yang hitam (gitar milik Leo) itu keris saktimu. Tapi jauh sebelum kejadian itu, sebenarnya saya juga pernah berduet dengan Christy, sebelum saya bergabung ke Lemon Trees. Karena orang sudah terbiasa dengan duet saya, Leo- Christy, maka ketika saya bersama Lita dan Jilly pun pakai nama Leo Kristi. Juga ketika saya berduet dengan Titiek Sutoto," katanya. Ada atau tidak ada kaitan keris dengan namanya, Leo Kristi toh mempunyai kesan tersendiri dengan benda keris, yang tak pernah ia miliki dan bahkan tak pernah dijamahnya. "Kesan aura birunya. Itulah kelebihan keris. Saya sih tak biasa pegang keris dan tak pernah pegang batang keris itu sendiri. Enggak pernah menyentuh sama sekali. Hanya saja, menurut saya, keris itu sangat indah dan kuat nyala birunya. Tentu semua itu berdasarkan yang aku lihat. Ketika ayahku menarik keris dari sarungnya, mungkin karena suasananya temaram, saya lihat aura biru dari keris itu," kata Leo. Tetapi, ia tak menerangkan lebih lanjut apa sebenarnya aura biru yang menurutnya ia lihat dari keris bapaknya tersebut. Ketika zaman sudah bergulir begitu pesat, dan era pun sudah beranjak dari era masa batu menjadi era komunikasi modern, era kuantum, orang-orang modern di kota besar seperti Jakarta ternyata masih membutuhkan simbol masa silam, keris ini, dalam kehidupan masa kininya. Pada beberapa orang tertentu, kolektor fanatik keris, misalnya, benda keris malah bisa lebih berharga dari handphone, 'keris komunikasi' yang selalu di-sengkelit (dibawa) manusia modern saat ini. Kris Dayanti, Leo Kristi atau mungkin Anjasmara hanya segelintir contoh manusia Indonesia modern yang secara sengaja atau tidak masih dilekati bekas perjalanan masa silam bangsa ini meski hidup mereka modern. Masih banyak lagi manusia Indonesia lainnya, tak terbatas artis, pejabat, politisi, bahkan pebisnis yang melengkapi hidup modernnya dengan keris. Bahkan tak sedikit yang memburunya sebagai pelengkap ulah spiritualnya. Ketika seorang calon pemimpin negeri berhasil menduduki kursi tinggi negeri ini, "bursa" keris pun merebak. Atau sengaja direbak-rebakkan orang sekitarnya. Seorang tetangga, yang mengaku teman sekelas sang pemimpin sewaktu duduk SLTP, sibuk berkasak-kusuk. Kata tetangga ini, penuntun spiritual pemimpin itu tengah mencarikan keris yang pas untuk beliau. Sebuah keris berdapur (model) nagasasra. Juga tongkat komando, yang berisi wesi aji, besi yang dianggap bertuah. Atau pada saat krisis ekonomi, selepas tahun 1997. Pada saat orang semestinya berhemat-hemat demi mengikat pinggang agar terbebas dari lilitan krisis, bursa keris malah merebak. Tak hanya di kalangan atas, tetapi juga di kalangan bawah. Coba tanya Mas Djum di Pasar Rawa Bening, Jatinegara. Atau Mas Cholik yang asal Madura itu. Pada saat krisis, pasaran keris di kalangan menengah ke bawah ini justru tidak menurun, tetapi malah melonjak. Justru saat "tenang" seperti saat ini meski belum juga lepas benar dari impitan krisis, pasaran keris malah menurun. "Mereka perlu sesuatu sebagai penambal jiwa yang kosong," ungkap Gus Im, panggilan akrab Hasyim Wahid, adik bungsu mantan Presiden RI Gus Dur. Penambal jiwa yang dimaksud Gus Im, seperti layaknya moto pemasaran berbagai produk modern seperti kosmetik atau mobil saat ini. "You are what you wear. Kalau Anda belum pakai pakaian yang bikinan brand name, Anda belum jadi orang kan? Brand name orang Jawa, ya harus punya pusaka," kata Gus Im, yang di kalangan teman-teman dekatnya dijuluki sebagai "Kiai Metal" karena selain gemar keris, ia juga suka sekali dengan musik-musik metalnya Metallica atau teriakan penyanyi bersuara lantang Bon Jovi. "Bahkan saya, meski sudah eksperimen segala macam, pada akhirnya ya saya menyimpan benda yang tidak bisa saya buat," kata Gus Im, yang juga sering bereksperimen membuat berbagai keris ciptaan sendiri ataupun berbagai benda pernik-pernik, meminjam teknologi pamor pada keris. Menurut Gus Im, manusia Indonesia itu menyimpan semacam human longing. Kerinduan manusia akan sesuatu yang tak tergapai. Lalu ada kecemasan. Ada sesuatu yang suwung (rasa kosong, rasa sepi). Ada bagian kosong, yang apabila tak tertambal, kekeroposan akan dimulai dari situ. Mistisisme, salah satu kutub pelepasan manusia suwung yang meski di depan umum kini disingkiri kalangan Indonesia modern, setidaknya oleh orientalis dan Indonesianis Niels Mulder, bahkan tidak hanya memengaruhi cara hidup orang Jawa, bahkan juga berpengaruh dalam ideologi Indonesia (Mysticism in Java: Ideology in Indonesia, Pepin Press, 1998). "Para kolektor keris modern saja, yang kerisnya sudah ratusan banyak, toh masih memercayai untuk memiliki keris tindih (keris tua yang dinilai bisa menetralisasi daya magis yang buruk dari keris-keris sekitarnya). Padahal, keris tindih itu sebenarnya hanya keris yang terbuat dari besi wootz saja," papar Gus Im. Besi wootz adalah besi berlipat-lipat hasil tempaan India pada masa lalu, dari logam sejenis, tetapi sudah menampilkan pamor karena lipatan-lipatan besinya. Terlepas dari mistifikasi benda budaya yang sebenarnya boleh diklaim, khas negeri ini, keris adalah sebuah identitas. Sayangnya, Singapura sudah lebih dulu "mengklaim"-nya sebagai identitas mereka walau mereka tak dilekati budayanya dalam kehidupan sehari-hari, seperti layaknya masyarakat Jawa tradisional. Coba Anda langkahkan kaki ke penerbangan Singapore Airlines yang terhebat di kawasannya dan terkemuka di dunia itu. Keris seolah-olah adalah identitas Singapura. Setidak-tidaknya, keris menjadi maskot bagi maskapai penerbangan yang memiliki jumlah armada 90 pesawat (tertua usianya lima tahun) dan tengah memesan 29 pesawat lagi untuk armadanya ini. Segala-gala pertaruhan gengsi dan kehebatan layanan mereka diwujudkan dalam citra keris. Jika Anda merupakan pelanggan kelas wahid maskapai penerbangan tersebut, bolehlah Anda masuk sebagai KrisFlyer Elite Silver atau malah KrisFlyer Elite Gold. Maka, Anda akan bisa menikmati berbagai KrisFlyer Features dan bahkan bisa jadi KrisFlyer Partner perusahaan tersebut. Ruang tunggu para penumpangnya di bandara, terutama Changi di Singapura basis mereka? Mereka dengan bangga menyebutnya sebagai Kris Lounge. Dan di pesawat pun Anda akan dilayani oleh para pramugari yang tangkas-tangkas, lengkap dengan kostum batik mereka yang khas. Anda mau memberi suvenir pada handai tolan, padahal tak sempat berbelanja sebelum take off? Tak perlu khawatir, Kris Shops di pesawat Singapura itu siap melayani Anda dengan berbagai suvenir, dari jam tangan, elektronik, sampai parfum. Gambar sebilah keris kuno, yang boleh dikata kualitasnya tak lebih baik dari keris-keris kolektor Indonesia kelas menengah, juga terpampang di pinggiran indeks majalah penerbangan Singapore Airlines, yang juga mereka sebut sebagai Kris Magazine itu. Pokoknya, semuanya Kris. Mereka hanya tak punya The Singing Kris saja di pesawat terbang mereka.... Anda suka berselancar di dunia maya? Silakan surfing puluhan situs tentang keris, baik yang ada di Indonesia ataupun di Belanda, Amerika, Singapura, Jepang, dan Malaysia. Lihat juga Paul's Gallery di Singapura, yang begitu populer di kalangan peselancar-peselancar keris sedunia. Atau situs Viking's world, yang ramai dengan lalu lalang celoteh surat (mailing list) mengenai keris jawa, keris bali, atau keris-keris dari wilayah Indonesia lainnya. Lucunya, mereka peselancar-peselancar keris di dunia maya ini bukan dari Indonesia. Dan suatu ketika, saat ada orang Indonesia yang ikut berceloteh, mereka bahkan merasa surprised bahwa, at last, ada peselancar lokal yang berlabuh di situs pelabuhan keris mereka. Manusia di luar Indonesia begitu mengapresiasi keris, yang dihasilkan oleh empu-empu Indonesia pada "zaman kuda gigit besi" ini. Sementara kita? Silakan kecolongan. Hanya satu yang tidak akan berhasil mereka colong, The Singing Kris. Alias "Keris" Dayanti....
(Jimmy S Harianto, atau Ganjawulung adalah wartawan Kompas)

Komentar

Postingan Populer